Rabu, 07 September 2011

Jilbabku Bukan Belenggu


Jilbabku Bukan Belenggu
Jilbabku Kebebasanku
Kata-kata diatas  saya temui pertama kali di selembar poster yang diletakkan di dinding kaca Student Store kampus saya saat masih berstatus sebagai mahasiswa. Terkesan dengan kata-katanya dan mencoba mencari makna di balik kata-kata itu.

Jilbabku Bukan Belenggu

Kata belenggu jika dilihat dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memiliki definisi ikatan (sehingga tidak bebas lagi). Jadi jika dikaitkan dengan frase: “Jilbabku Bukan Belenggu”, kurang lebih begini jadinya: “Jilbabku bukanlah hal yang membuat menjadi tidak bebas”. Maka frase “Jilbabku Bukan Belenggu” sangat pas jika kemudian disandingkan dengan frase “Jilbabku Kebebasanku”. Tentunya frase kedua ini berperan sebagai penguat dari frase pertama.

Lantas apa makna sesungguhnya dari keduanya?
Mungkin masih ada sebagian kita yang berpikir bahwa ketika seorang muslimah memutuskan untuk mengenakan jilbab, maka dia tidak akan bebas melakukan apapun, merasa dirinya terbatasi dengan jilbab yang dikenakan. Ketika berjilbab, seorang muslimah tak boleh melakukan ini itu, harus meninggalkan seluruh kebiasaan lamanya. Ketika berjilbab, seorang muslimah harus kalem, pendiam, dll. Benarkah statement ini?

Tidak kawan!

Siapa bilang ketika seorang muslimah memutuskan untuk berjilbab tak bebas melakukan apa-apa? Ada seorang muslimah yang hobi naik gunung, tetap naik gunung ketika memutuskan berjilbab syar’i, dengan rokcel-nya (rok celana). Ada seorang muslimah yang hobi nyanyi, akhirnya bernasyid ria ketika memutuskan berjilbab dan sering diminta tampil dalam acara kemuslimahan. Ada seorang muslimah yang hobi renang, tetap renang secara rutin di kolam renang khusus muslimah ketika memutuskan berjilbab. Bahkan banyak juga muslimah berjilbab yang tak kalah prestasinya dengan perempuan-perempuan lain.

Tak jauh-jauh dari kehidupan penulis, teman penulis sendiri. Ada seorang muslimah berjilbab yang hobi dan memiliki bakat seni lukis, dia akhirnya membuat bisnis sepatu lukis dan jilbab lukis. Ada seorang muslimah berjilbab yang menjadi mapres (mahasiswa berprestasi) tingkat fakultas dan sering mengikuti berbagai konferensi tingkat nasional bahkan internasional, dan nyatanya jilbab panjangnya tak mengerdilkan confidence nya.

Ada seorang muslimah berjilbab yang mengikuti kontes roket tingkat nasional, dan nyatanya jilbab panjangnya tak menghalanginya untuk tetap berprestasi. Ada seorang muslimah berjilbab yang bisa mengendarai mobil dan menjadi andalan untuk acara-acara kemuslimahan, tanpa ketergantungan dengan kaum Adam yang biasanya kebanyakan bisa mengendarai mobil. Ada seorang muslimah berjilbab yang kuliah di luar negeri dan dia pun tetap PD dengan lingkungan sekitarnya yang non muslim, karena pandai membawa diri dalam pergaulan. Bahkan pernah suatu ketika teman perempuan non muslimnya mencoba mengenakan jilbab dan bilang: Aku cantik ya?

Jadi, tak ada hubungannya bukan bahwa jilbab itu suatu belenggu bagi para muslimah? Muslimah berjilbab masih bisa melakukan apa yang disukainya bahkan meraih prestasi di bidangnya masing-masing.
Ada satu cerita unik terkait keputusan seorang muslimah untuk berjilbab. Ada seorang muslimah yang belum berjilbab walaupun sebenarnya sudah ada niat dalam hatinya untuk berjilbab. Setelah bertahun-tahun, akhirnya keputusan untuk berjilbab pun datang juga. Bagaimanakah hal itu bermula?

Hidayah itu bermula dari ‘tembakan’ seorang laki-laki kepada dirinya saat ia duduk di kelas 2 SMA. Saat itu di hari Rabu sepulang sekolah, teman dekatnya, seorang laki-laki, menyatakan cinta padanya dan menginginkan sang muslimah menjadi pacarnya, dengan ungkapan: “maukah kamu jadi pacarku?”
Tentu sang muslimah terkejut dan tak menyangka jika ternyata teman dekatnya menyimpan rasa padanya selama ini. Hingga akhirnya, sang muslimah tak serta merta menjawab pertanyaan itu dan meminta waktu beberapa hari untuk bisa menjawabnya.

Dalam kebimbangan, ia pun memohon petunjuk padaNYA. Tiga hari tiga malam ia jalani shalat istikharah. Dan tepat di malam ketiga, seusai istikharah, ia bermimpi. Apa mimpinya? Ia bermimpi sedang berada di sebuah taman dan ada yang berbeda pada dirinya. Ya! Itulah jawaban Allah atas masalahnya.
Senin menjelang, sang muslimah pun berangkat ke sekolahnya. Ia disambut oleh kakak-kakak akhwat ROHIS dengan cipika cipiki dan memberikan selamat kepadanya. Teman laki-laki sang muslimah yang me’nembak’nya pun melihat keramaian di pintu kelasnya: sang muslimah kini berjilbab. Dan sang laki-laki tahu, inilah jawaban dari sang muslimah tanpa diucapkan langsung olehnya.

Satu hal yang diyakini sang muslimah bahwa jilbab membebaskan dirinya dari jerat nafsu syetan. Ketika ada teman laki-laki yang mengajaknya berpacaran, maka inilah jawabannya dan juga jawaban-NYA.
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkanjilbab ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (Q.S Al-Ahzab: 59)
Semoga ayat cintaNYA melembutkan hati-hati kita..
Bagi yang belum berjilbab, maka bersegeralah, karena ini perintahNYA..
Bagi yang sudah berjilbab, semoga keistiqomahan senantiasa kita usahakan..
Karena sesungguhnya, hidayah dan istiqomah itu bukanlah hal yang kita peroleh tanpa usaha..
Tanamkan dalam diri bahwa:
Jilbabku Bukan Belenggu
Jilbabku Kebebasanku
Jilbabku Identitasku
Jilbabku Jati Diriku

Selamat Hari Solidaritas Jilbab Internasional..

Oleh: Linda Puspita Sari, S.Pd

lokalisasi

Kearifan lokal, begitulah kaum sekularis-pluralis-liberalis menyebutnya. Setiap daerah memiliki kearifan lokalnya masing-masing yang telah disesuaikan dengan kepribadian khas penduduk setempat, dan semuanya itu murni dan valid sebagai kebenaran. Karena itu, tradisi setempat tidak boleh diganggu-gugat dengan alasan apa pun. Lebih jelasnya lagi, agama sekalipun tidak punya hak untuk ikut campur masalah adat.

Gagasan ini diolah kembali oleh seorang liberalis. Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya nama “sinkretisme” dipandang sebagai sesuatu yang buruk oleh bangsa Indonesia (walaupun banyak dilakukan juga oleh mereka yang malu mengakuinya), sang pemikir yang satu ini mengatakan bahwa kita tidak perlu canggung melakukan sinkretisasi antara agama dan budaya; katakanlah, antara Islam dan adat Jawa.

Dengan dibukanya ‘pintu sinkretisme’, maka berlomba-lombalah mereka menyuarakan pendapatnya. Yang satu menyatakan dengan tegas bahwa dirinya menginginkan terwujudnya ‘Islam yang Indonesiawi’, bukannya ‘Indonesia yang Islami’. Rekannya yang lain lagi malah dengan gagahnya memungkas sebuah debat terbuka dengan ‘kata-kata mutiara’: “Saya ini orang Indonesia yang kebetulan lahir sebagai Muslim, dan bukannya Muslim yang kebetulan lahir sebagai orang Indonesia.”

‘Perselingkuhan’ antara tradisionalisme dan pemikiran liberal memang cukup problematis, bahkan terkesan ngawur. Dari jamannya Mustafa Kemal Ataturk sampai Soekarno, dari Nurcholish Madjid sampai Ulil Abshar-Abdalla, yang selalu didengung-dengungkan sebagai basis pemikiran liberal adalah modernisme. Berpikir itu harus progresif dan maju, bukannya konservatif dan kolot. Tapi pada kenyataannya, modernisme tidak selalu cocok dengan bangsa Indonesia. Maka bagi mereka yang sudah terlanjur cocok dengan tradisionalisme, dipersilakan untuk mempertahankan ketradisionalannya. Yang penting tetap sekuler, liberal dan pluralis.

Dalam wacana pluralisme sendiri memang tradisionalisme itu telah memberikan pengaruh yang tidak sedikit. Dalam agama Hindu, misalnya, terbuka begitu besar kesempatan untuk melakukan sinkretisasi dengan tradisi-tradisi dan corak pemikiran setempat. Hindu di India sangat berbeda dengan Hindu di Indonesia, walaupun para sejarawan ngotot mengatakan bahwa agama Hindu di Indonesia benar-benar anak kandung dari agama Hindu di India. Tapi, sebagaimana yang pernah digarisbawahi oleh Buya Hamka: yang satu menyucikan sapi, yang lainnya mengkonsumsi sapi.

Bahkan di negara yang sama pun kita temukan corak yang berbeda-beda dalam agama Hindu. Di India, masyarakat Hindu beribadah dengan cara yang berbeda-beda, tergantung dewa mana yang lebih mereka utamakan (dan agaknya ‘majelis dewa-dewi’ ini pun tidak memiliki keanggotaan yang tetap). Di suatu wilayah, ada yang menganggap tikus-tikus penghuni kuilnya sebagai jelmaan orang-orang suci, sedangkan di tempat-tempat lain, tikus diusir dari rumah-rumah seperti yang umumnya terjadi di seluruh dunia. Di Bali, pusat berkembangnya agama Hindu Indonesia, perlakuan terhadap jenazah pun berbeda. Ada yang ditaruh begitu saja di luar rumah (tidak dikubur, karena pohon di daerah itu bisa menghilangkan bau busuknya secara sempurna), ada juga yang bersusah payah mengumpulkan dana agar jenazah kerabatnya bisa dibakar dengan prosesi yang layak.

Tokoh-tokoh agama Hindu di India sudah banyak yang mengakui bahwa Hindu memang sangat ‘fleksibel’ dan bisa beradaptasi dengan tradisi lokal mana pun, bahkan juga beradaptasi dengan agama lain. Itulah sebabnya di India berkembang aliran Sinkretisme; ada yang bersemboyan “Mengkristenkan Hindu dan Menghindukan Kristen”, ada yang memadukan Hindu dan Islam, ada pula yang mencampurkan Hindu, Kristen dan Islam sekaligus. Bahkan Mahatma Gandhi pun menganggap semua agama benar, namun semua agama juga memiliki kesalahan; oleh karena itu, kesalahan dalam suatu agama bisa ‘ditambal’ oleh ajaran agama-agama lainnya.

Tradisionalisme juga dikenal sebagai aliran tersendiri dalam tren pluralisme yang lebih dikenal sebagai ‘Hikmah Abadi’, ‘Sophia Perennis’, atau ‘Kesatuan Transenden Agama-agama’ (KTAA). Menurut aliran KTAA ini, setiap agama bersifat ‘tradisional’. Artinya, ia bersifat primordial dan wajib dipertahankan dalam bentuk aslinya. Mempertahankan bentuk asli dari ajaran agama adalah suatu hal yang terpuji, hanya saja dasar pemikirannya kurang dapat diterima oleh para ulama, yaitu karena KTAA membenarkan semua agama.Pemikiran teosofi tidak kalah menariknya, karena teosofi inilah yang dengan mantap memperumit relasi antara agama dan tradisi lokal. Menurut mereka, semua agama itu berasal dari Tuhan yang sama, hanya saja masing-masing agama diturunkan kepada umat yang berbeda-beda berdasarkan ‘tingkat evolusinya’. 

Kepada kaum yang masih primitif, diajarkan agama yang primitif juga. Sebaliknya, masyarakat yang sudah lebih maju akan menerima agama yang lebih maju juga. Agaknya pengaruh Charles Darwin sampai juga pada aliran teosofi ini, karena istilah “primitif” umumnya mengacu pada bangsa berkulit kuning, merah, coklat dan hitam, sedangkan yang “maju” adalah bangsa berkulit putih. Oleh karena itu, Hindu, Budha, Konghucu, Zoroaster, Islam dan sebagainya adalah agama yang primitif, sedangkan agama yang modern adalah Kristen dan Yahudi. Bagaimana pun, kaum teosofi bersikeras bahwa mereka tidak mengacu pada satu agama saja, melainkan hendak memuliakan semua agama, dengan berbagai retorika yang digunakannya.

Proyek mengidentikkan Islam dengan tradisi lokal sudah dilakukan sejak dahulu kala. Kaum orientalis jaman dahulu tidak terbiasa membedakan antara Islam dan Arab, sehingga Islam disebut dengan istilah-istilah lain yang sebenarnya mengacu pada bangsa atau wilayah, misalnya “Saracens” atau “Turks”.

Jadi, menurut mereka, Islam adalah agamanya bangsa Arab. Lambat laun, mereka pun menyadari bahwa definisi ini tak dapat dipertahankan, karena muallaf  terus bermunculan dari seluruh penjuru dunia. Maka mereka ajarkanlah kepada murid-muridnya (kaum sekularis-pluralis-liberalis) bahwa Islam memang bukan agama bangsa Arab, namun dalam ajaran agama Islam yang telah kita kenali ini terdapat begitu banyak aturan-aturan yang diadaptasi dari tradisi-tradisi Arab. Dengan kata lain, Islam tidak identik dengan Arab, namun Islam bisa (dan telah) terinfiltrasi oleh corak budaya Arab. Muncullah gagasan berikutnya. Kalau Islam bisa ‘diwarnai’ dengan budaya Arab, mengapa kita tidak ikut ‘mewarnai’ Islam dengan budaya Indonesia?

Berputar-putar kemana pun, ‘perselingkuhan’ semacam ini tetaplah problematis. Sebab, kaum sekularis mengkritik sebagian ajaran Islam karena dianggapnya tidak rasional, namun sebaliknya mereka justru tiarap ketika menghadapi tradisi-tradisi lokal yang lebih tidak rasional lagi. Sebagian di antara mereka mengatakan bahwa dzikir, apalagi berjamaah, adalah ‘pelarian’ bagi orang-orang yang tak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya dengan akal sehat. Tapi atas nama ‘kearifan lokal’, mereka anggap masuk akal saja tradisi berendam ramai-ramai di sungai untuk membersihkan diri dari segala sifat buruk atau dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan. 

Ada juga yang bilang bahwa merujuk pada syariat Islam itu identik dengan melarikan diri karena tak mampu lagi menggunakan kekuatan akalnya untuk memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Tapi terhadap tradisi memohon-mohon di depan kubur, upacara memandikan keris atau berebut kue dan makanan dari keraton sebagai simbolisme ‘rebutan berkah’, mereka diam saja. Semata-mata karena sebagian masyarakat Indonesia memang terlanjur cocok dengan tradisionalisme.

Demi tradisi lokal, agama pun dibikin ‘lokal’, dan dilarang menjadi universal. Memang tepat kiranya jika fenomena ini kita sebut dengan istilah ‘lokalisasi agama’, karena lokalisasi memang identik dengan pelacuran, dan tawar-menawar dengan ‘aqidah tidak lain adalah pelacuran ‘aqidah itu sendiri.


Sumber : http://www.fimadani.com/lokalisasi/