Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas
---
Waktu masih kuliah di Riyadh, Arab Saudi, saya dapat cukup banyak kesempatan untuk melaksanakan umrah ke Makkah al-Mukarramah. Selain melaksanakan thawaf, yang paling menyenangkan dan menimbulkan kesan yang mendalam adalah menyaksikan orang lain melaksanakan thawaf, laki-laki dan perempuan, tiada putus-putusnya. Lebih berkesan lagi, apabila kita menyaksikannya dari lantai dua Masjid Haram.
Pada suatu kesempatan setelah shalat Isya, saya dan seorang sahabat duduk-duduk di pelataran Ka'bah, menikmati udara malam sambil menyaksikan kaum Muslim Muslimah thawaf tiada henti-hentinya. Bersama kami, ada sepasang suami istri setengah baya yang datang melaksanakan umrah sejak beberapa hari lalu. Kami sudah saling kenal, karena beliau berdua sudah berulang kali ke Makkah, baik untuk melaksanakan ibadah haji maupun umrah. Allah menganugerahkan kekayaan yang melimpah kepada mereka berdua, tetapi sayang mereka tidak dianugerahi putra seorang pun. Barangkali ke Makkah merupakan salah satu cara mereka menghibur diri apabila dilanda kesepian dan kerinduan terhadap anak.
Tiba-tiba, si ibu menyatakan tekadnya: "Sampai ajal datang, kami berdua akan melaksanakan haji dan umrah sebanyak mungkin." "Inilah yang dapat kami lakukan untuk menambah bekal ke akhirat kelak," lanjutnya. Sahabat saya, kebetulan lebih senior, menanggapinya dengan bijaksana. Tidak mencela dan tidak pula menyalahkannya. "Bagus, semoga Bapak dan Ibu mendapatkan haji yang mabrur dan umrah yang makbulah." Saya lihat suami istri itu tersenyum lega. Tetapi, lanjut sahabat saya, "Jika Bapak Ibu sudah meninggal dunia, tidak akan bisa haji dan umrah lagi. Sehingga, pahalanya terhenti." Tanpa memperhatikan reaksi suami istri itu, sahabat saya meneruskan lagi. "Jika Bapak Ibu mau, saya bisa tunjukkan amalan yang pahalanya akan terus mengalir tiada henti." Si ibu cepat menjawab, "Amalan apa, Dik?" "Mendirikan masjid, misalnya." Sekalipun nanti ibu dan bapak sudah berada di alam barzah, pahalanya akan terus mengalir."
Beberapa bulan kemudian, kami dapat kabar bahwa suami istri tadi mulai mendirikan sebuah masjid yang cukup besar dan diberinya nama Masjid Ar-Raudhah. Barangkali untuk mengenang tempat shalat yang selalu diperebutkan jamaah di Masjid Nabawi. Semenjak itu, bapak ibu tadi mulai sibuk mengurus masjidnya, mendirikan yayasan pengelola masjid. Perkembangan selanjutnya sungguh menggembirakan, mereka berdua juga mendirikan taman kanak-kanak yang juga dinamai Ar-Raudhah. Bahkan kemudian mendirikan gedung sekolah berlantai dua yang diwakafkan untuk sebuah pesantren.
Masya Allah. Saya dapat pelajaran berharga dari sahabat saya itu. Saya sempat berandai-andai, sekiranya sahabat saya mencela suami istri itu, niscaya keduanya mungkin akan membantah dengan jawaban yang juga keras. "Orang beribadah kok dilarang." Karena itu, ini tantangan bagi semua umat Islam, terlebih para dai, bahwa sesungguhnya dakwah adalah mengajak, bukan mengejek.
*)sumber: koran Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar