Sabtu, 14 Mei 2011

Menata Ruhiyah Demi Dakwah

Oleh : Ustad Salman, MA

Umar bin Khattab pernah meneteskan air matanya ketika melihat keadaan seorang ibu yang pada malam itu (ketika Khalifah Umar sedang mengadakan inspeksi malam hendak melihat kondisi sebenarnya masyarakat yang dipimpinnya) pura-pura memasak untuk menenangkan anak-anaknya yang terus menangis menahan lapar. Padahal dalam kuali tersebut hanyalah berisi batu. Menyaksikan hal demikian, sang khalifah langsung menuju gudang (sejenis bulog) mengambil sekarung gandum. Masya Allah, dengan tangan dan pundaknya sendiri, beliau membawa sekarung gandum tersebut untuk diberikan kepada sang ibu tadi.

Makna ruhiyah

Dalam kamus dikemukakan, bahwa ruhiyah berasal dari kata ruh yang mendapatkan ya’ nisbah menjadi ruhi, yang memiliki arti ruhani (spiritual) yang merupakan lawan dari kata maadi atau materi. Kata ruhiyah sering kali diidentikkan dengan nuansa hati yang penuh terisi dengan nilai-nilai keimanan, sehingga merasakan adanya ketentraman dan kesejukan jiwa yang memotivasi untuk beramal dalam mencari ridho Allah. Sehingga pengaruh dari adanya ruhiyah dalam diri seseorang teraplikasi pada peningkatan aktivitas ibadah dan da’wah, dalam berbagai bentuknya

Barangkali kita pernah mendapati ada kader dakwah yang cukup handal dalam pengetahuan dan wawasan keislamannya namun minus dalam aspek ruhiyah. Pengetahuan dan wawasan keislamannya hanya mampu memberinya petunjuk tentang sebuah pemecahan persoalan dan kebenaran tetapi ia tidak mampu menghayati persoalan dan kebenaran tersebut. Seorang yang minus aspek ruhiyah seperti itu akan tampak kuat dalam pengembangan penalaran dan intelektualitas, namun “kering” dalam penjiwaan nuansa-nuansa sentuhan religius.  Ia hanya memiliki kekayaan warna pemikiran, namun miskin dalam emosionalitas keagamaan yang mampu memberi warna dalam pribadinya. Ketajaman analisis berpikir yang dimilikinya tidak diikuti dengan kecemerlangan hubungannya dengan Allah Swt dan ketinggiannya dalam akhlak.

Urgensi tarbiyah ruhiyah

Ruhiyah (ma’nawiyah) adalah aspek yang harus mendapatkan perhatian khusus oleh setiap muslim. Sebab ruhiyah menjadi motor utama sisi lainnya, hal ini bisa kita simak dalam firman Allah Swt di surat Asy-Syams : 7-10 “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sungguh sangat merugi orang yang mensucikannya dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya,” . Dan dalam surat Al Hadid ayat 16: “Belumkah datang waktunya untuk orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka berdzikir kepada Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab di dalamnya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik ”. Ayat-ayat di atas memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya untuk senantiasa menjaga ruhiyah, kerugian yang besar bagi orang yang mengotorinya dan peringatan keras agar kita meninggalkan amalan yang bisa mengeraskan hati. Bahkan tarbiyah ruhiyah adalah dasar dari seluruh bentuk tarbiyah, menjadi pendorong untuk beramal shaleh dan dia juga memperkokoh jiwa manusia dalam menyikapi berbagai problematika kehidupan.

Indikasi ruhiyah yang kuat

Indikasi bahwa seseorang memiliki aspek ruhiyah yang kuat, diantaranya:
1.Adanya sikap ketergantungan yang sangat tinggi terhadap Allah Swt. Ia menjadikan Allah Swt sebagai satu-satunya tujuan dalam segala hal yang dibarengi dengan kegigihan dan kesungguhannya dalam mengerjakan sebuah aktivitas.
2.Ia berupaya keras untuk selalu mengisi kehidupannya dengan kebajikan dan perbuatan yang bermanfaat. Ia juga berupaya meninggalkan keburukan dan hal-hal yang tidak berguna.
3.Ia gemar menjalankan ibadah-ibadah sunnah. Perangainya sangat terjaga dan merupakan cerminan dari akhlak karimah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
4.Seseorang yang mampu memberi makna terhadap setiap peristiwa yang terjadi dalam hubungan dirinya dengan Tuhannya dan segala kekuasaan yang dimiliki-Nya.
5.Ia akan merasakan keberadaan Tuhan dalam berbagai peristiwa yang terjadi dan fakta-fakta yang disaksikannya.

Urgensi ruhiyah

Betapa penting aspek ruhiyah bagi seorang kader dakwah. Ia mampu menjaga dari rasa frustasi dan putus asa ketika seseorang mengalami kekecewaan dan kegagalan,  menjaga dari kegembiraan yang berlebihan dan rasa takabur apabila mengalami keberhasilan, kebahagiaan dan kemenangan,  membentengi diri dari rasa malas berkelanjutan dalam beraktivitas dakwah dan  memberikan semangat keberanian dengan mengharap perlindungan dan pertolongan kepada Allah Swt.
Ia akan mengobati hati seorang kader dakwah dari “sakitnya” dan menuntunnya dari gelap gulita kepada terang-benderang,  memberikan kesabaran dan keteguhan untuk tetap istiqomah dalam berda’wah,  memberikan optimisme dan harapan terhadap masa depan dakwah,   membangkitkan semangat berkorban yang tinggi yang diiringi dengan keyakinan kuat bahwa Allah Swt akan memberikan balasan yang lebih baik lagi.

Ia akan menggerakkan seorang kader dakwah untuk menyerap segala pertolongan dan kekuatan dari Allah Swt melalui segenap perilaku dan keutamaan ibadah-ibadahnya,   mengundang datangnya petunjuk dan bimbingan dari Allah Swt  melalui kesungguhan memohon penjelasan dalam melangkah di jalan da’wah,  membangkitkan simpati dari obyek dakwah bahkan dari musuh dakwah karena keutamaan perangai dan perilakunya dan  mendatangkan segala bantuan dan kelebihan bagi seorang kader dakwah dalam menjalani dunia dakwahnya.
Apabila organisasi gerakan dakwah terdiri dari individu-individu yang kuat dalam aspek ruhiyahnya dan dijadikannya aspek ruhiyah itu sebagai salah satu hal yang diperhatikan, maka oraginsasi ini akan memiliki kelebihan dan keunggulan dalam menjalani gerakan dakwahnya. Tidak sedikit pertolongan dan bantuan Allah Swt  akan diberikan kepada organisasi tersebut dalam mencapai keberhasilan dan kemenangannya. Inilah peran penting aspek ruhiyah bagi sebuah organisasi gerakan dakwah dan para aktifis dakwah.

Tarbiyah ruhiyah

Agar terbentuk aspek ruhiyah yang kuat pada seorang kader dakwah, maka diperlukan pembinaan ruhiyah (tarbiyah ruhiyah) secara berkesinambungan. Karena itu organisasi gerakan dakwah harus memiliki program pembinaan ruhiyah bagi para kadernya. Pembinaan ruhiyah ini dapat dilakukan melalui penyampaian materi-materi yang mengantarkan kepada pemahaman tentang Allah Swt beserta segala sifat dan kekuasaan-Nya, penjelasan tentang kehidupan akhirat, janji-janji dan ancaman Allah kepada manusia dan sebagainya.
Pemberian pemahaman harus diiringi dengan pembiasaan praktek-praktek ibadah (mulai dari yang fardhu sampai dengan ibadah-ibadah sunnah yang utama), membiasakan untuk introspeksi diri (muhasabah), pengenalan kekuasaan Allah Swt  pada alam semesta secara langsung dan lainnya yang bersifat praktis. Juga jangan dilupakan tentang penanaman akhlak karimah dengan segala keutamaannya.

Jika ingin mencapai kelebihan dan keberhasilan, pembinaan ruhiyah tidak boleh diabaikan oleh gerakan dakwah. Sekalipun pembinaan ruhiyah bukanlah satu-satunya pembinaan yang harus dilakukan, namun pengabaian terhadap pembinaan ruhiyah akan berakibat kepada tidak utuhnya sebuah gerakan dakwah. Agar diperoleh pribadi-pribadi muslim paripurna sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Swt dan Rasul-Nya, maka pembinaan ruhiyah harus dilakukan dengan sebaik-baiknya dan secara berkesinambungan.
Namun perlu diingat bahwa untuk mencapai aspek ruhiyah yang kuat pada seseorang bukanlah pekerjaan yang mudah dan waktu yang singkat. Gerakan dakwah harus bersungguh-sungguh, penuh kesabaran yang berkelanjutan dalam melakukan pembinaan ruhiyah terhadap kader-kadernya. Jerih payah ini suatu saat nanti akan menampakkan hasil.

Ruhiyah qabla dakwah

Ruhiyah adalah bekal yang terbaik bagi setiap muslim, terutama bagi seorang da’i. Ruhiyah inilah yang akan memotivasi, menggerakkan dan kemudian menilai setiap perbuatan yang dilakukannya. Keberadaan ruhiyah yang baik dan stabil menentukan kualitas kejayaan hidup seseorang, begitu juga dengan dakwah. Sangat tepat ungkapan yang menyatakan, “Ar-Ruhiyah qablad dakwah kama Annal Ilma qablal qauli wal amal”. Ungkapan ini merupakan “iqtibas” dari salah satu judul bab dalam kitab shahih Al-Bukhari, “Berilmu sebelum berbicara dan beramal, demikian juga memiliki ruhiyah yang baik sebelum berdakwah dan berjuang”.

Dalam kontek dakwah, menjaga dan mempertahankan ruhiyah harus sentiasa dilakukan sebelum beranjak ke medan dakwah, sehingga sangat ironis jika seseorang berdakwah tanpa mempersiapkan bekal ruhiyah yang maksimum, boleh jadi dakwahnya akan ”hambar” seperti juga ruhiyahnya yang sedang ”kering”.
Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kalian bersama-sama, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu, kemudian lakukanlah amal kebaikan, dan berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad”. (Al-Hajj: 77-78)

Menurut susunannya, ayat di atas memuat perintah Allah kepada orang-orang yang beriman berdasarkan skala kepentingan; diawali dengan perintah menjaga dan memperbaiki kualitas ruhiyah yang tercermin dalam tiga perintah Allah: ruku’, sujud dan ibadah, kemudian diiringi dengan menerapkan dari ruhiyah tersebut dalam bentuk amal dan jihad yang benar. Yang diharapkan dari menjalankan perintah ayat ini sesuai dengan urutannya adalah agar kita meraih kemenangan dan keberuntungan dalam seluruh aspek kehidupan, lebih-lebih lagi urusan yang kental dengan ruhiyah yaitu dakwah. Tentunya susunan ayat Al-Qur’an yang demikian bijak dan tepat bukan semata-mata hanya memenuhi aspek keindahan bahasa atau ketepatan makna, namun lebih dari itu, terdapat hikmah yang layak untuk digali karena susunan ayat atau surah dalam Al-Qur’an memang bersifat “tauqifiy” (berdasarkan wahyu, bukan ijtihad).

Tentang pentingnya ruhiyah dalam dakwah dapat difahami juga dari sejarah turunnya surah Al-Muzzammil. Surah ini secara hukum dapat dibagikan menjadi dua kelompok:
1.kelompok yang pertama dari awal surah hingga ayat 19 yang berisi arahan kewajiban shalat malam, tilawah, zikir, tabattul, sabar dan tawakkal.
2.kelompok kedua yang berisi rukhshah dalam hukum qiyamullail menjadi sunnah mu’akkadah yaitu pada ayat yang terakhir, ayat 20.

Bisa dibayangkan satu tahun lamanya generasi terbaik dari umat ini melaksanakan kewajiban qiyamullail layaknya shalat lima waktu semata-mata untuk mengisi dan memperkuat ruhiyah mereka sebelum segala sesuatunya. Baru di tahun berikutnya turun rukhshah dalam menjalankan shalat malam yang merupakan inti dari aktifitas memperkuat ruhiyah. Hal ini dilakukan, karena mereka memang dipersiapkan untuk mengemban amanah dakwah yang cukup berat dan berkesinambungan.
Pada tataran aplikasinya, kestabilan ruhiyah harus diuji dengan dua ujian sekaligus yaitu ujian nikmat dan ujian cobaan atau musibah. Karena boleh jadi seseorang mampu mempertahankan ruhiyahnya dalam keadaan susah dan banyak mengalami ujian dan cobaan, namun saat dalam keadaan lapang dan senang, mudah saja ia lengah dan lupa dengan tugas utamanya. 

Inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya, “Bukanlah kefaqiran yang sangat aku khwatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khwatir jika (kemewahan, kesenangan) dunia dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya seperti yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa sebagaimana mereka juga binasa karenanya”. (H.R Bukhari dan Muslim). Maka seorang mukmin yang kualitas ruhiyahnya baik adalah yang mampu mempertahankannya dalam dua keadaan sekaligus. Demikianlah yang pernah Rasulullah Saw isyaratkan dalam sabdanya, “Sungguh mempesona keadaan orang beriman itu, jika ia mendapat anugerah nikmat ia bersyukur dan itu baik baginya. Namun jika ia ditimpa musibah ia bersabar dan itu juga baik baginya. Sikap sedemikian ini tidak akan muncul kecuali dari seorang mukmin”. (H.R Bukhari)

Dalam konteks ini, contoh yang sempurna adalah Muhammad saw. Beliau mampu memelihara kestabilan ruhiyahnya dalam keadaan apapun, dalam keadaan suka dan duka, senang dan sukar, ringan dan berat. Justru, semakin besar nikmat yang diterima seseorang, semestinya semakin bertambah rasa syukurnya. Semakin besar rasa syukurnya, maka akan semakin tinggi kekuatan dakwahnya. Begitu seterusnya sehingga wajar jika Rasulullah tampil sebagai abdan syakuran. Karena memang demikian jaminan Allah Swt, “Barang siapa yang bersyukur, maka pada hakikatnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya” (Luqman: 12). Orang yang bersyukur akan memperoleh hasil syukurnya yaitu kenikmatan ruhiyah yang ditandai dengan hidup menjadi lebih bahagia, tenteram dan sejahtera. Karena bersyukur hakikatnya adalah untuk dirinya sendiri.

Dan ternyata kejayaan dakwah Rasulullah Saw yang diteruskan oleh para sahabatnya sangat ditentukan –selain dari pertolongan Allah- dengan kekuatan ruhiyahnya. Selain dari qiyamullail yang menjadi amalan rutin sepanjang masa, cahaya Al-Qur’an juga sentiasa menyinari hatinya. Allah swt menegaskan dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Ia dibawa turun oleh Ar-ruhul Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan”. (Asy-Syu’ara’: 192-194). Demikian persiapan Muhammad sebelum menjadi rasul yang akan memberi peringatan yang merupakan tugas yang berat dan mengandung risiko adalah dengan dibekali Al-Qur’an yang akan sentiasa mengarahkan hatinya.

Dalam hal ini, Yusuf Al-Qardawi pernah menyatakan dengan tegas rahasia kekuatan Al-Qur’an, “Al-Qur’an adalah kekuatan Rabbani yang akan menghidupkan hati dan fikiran”. Al-Qur’an akan sentiasa memancarkan kekuatan Allah yang akan kembali menghidupkan hati dan fikiran yang sedang dirundung duka dan kemaksiatan. Kekuatan nabi Muhammad sendiri ada pada kekuatan hatinya yang senantiasa dibantu dengan cahaya Al-Qur’an. Dan demikian seharusnya, kekuatan dakwah seseorang ditentukan oleh kekuatan ruhiyahnya, bukan dengan lainnya.
Pada masa yang sama, agar ruhiyah tetap stabil terpelihara, maka harus dijaga dengan banyak beramal, meskipun hanya sedikit. Karena amal yang terbaik menurut Rasulullah Saw adalah amal yang berkesinambungan, “Sebaik-baik amal adalah yang berkesinambungan meskipun sedikit demi sedikit”. (H.R Tirmidzi). Dalam konteks ini, inkonsistensi ruhiyah pernah ditegur oleh Rasulullah Saw, “Janganlah kamu seperti si fulan; dahulu ia rajin qiyamul lail, kemudian ia tinggalkan”.

Penguatan aspek ruhiyah sebelum yang lainnya pada hakikatnya merupakan bentuk kewaspadaan seorang mukmin di hadapan musuh besarnya yaitu syaitan yang seringkali bekerja sama dengan manusia untuk melancarkan serangannya dan merealisasikan misinya. Tepat ungkapan Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi: “Syaitan akan sentiasa mengintai dan mencari titik lemah manusia”. Dengan licik dan komit, syaitan sentiasa mengincar kelemahan manusia tanpa henti, karena ia tahu bahwa setiap manusia memiliki kelemahan dan oleh karenanya manusia diperintahkan untuk berlindung hanya kepada Allah dengan memperkuat aspek ruhiyahnya.

Jadi aspek ruhiyah selalu menjadi potensi andalan para pemimpin dakwah yang telah menoreh tinta emas dalam sejarah dakwah ini. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dalam kualitas  ruhiyah dan amalnya. “Ruhbanun bil Lail wa Fursanun bin Nahar”. Bisa jadi kelemahan dan kelesuan dakwah memang berpangkal dari kelemahan dan kelesuan ruhiyah. Saatnya para da’i menyadari kepentingan ruhiyah sebelum amal dakwah dengan memberi perhatian yang besar tentang aspek ini dalam pembinaan. Demikianlah memang dakwah mengajar kita melalui generasi terbaiknya.

Kiat membina ruhiyah

Ada beberapa kiat dalam rangka melatih kekuatan ruhiyah dalam diri kita.
Pertama,
tajarrud ‘anid dunya. Mulai saat ini, pandangan hidup kita terhadap materi keduniaan harus diubah secara total. Bahwa materi keduniaan (harta benda dan kedudukan/jabatan) hanyalah alat untuk mencapai tujuan, bukan tujuan akhir. Sehingga kita tidak menghalalkan segala cara untuk memenuhi setiap keinginan.
Kedua,
senantiasa menjaga diri agar tetap berada di jalan kebenaran yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya serta waspada terhadap godaan-godaan menggiurkan yang dapat memalingkan dari jalan-Nya.
Ketiga,
memerangi syetan dengan segala tipu dayanya. Imam Al-Ghazali menempatkan syetan sebagai musuh utama manusia dalam beribadah mendekatkan diri kepada Allah Swt. Syetan akan selalu menggoda manusia dengan berbagai tipu dayanya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar senantiasa berlindung dari godaan syetan yang terkutuk.
Keempat,
membiasakan diri bangun di tengah malam mengerjakan shalat malam dan berpuasa pada siang harinya.
Kelima,
meningkatkan muhasabah, muraqabah, mu’aqabah dan mujahadah dalam rangka meningkatkan ketaqwaan.
Keenam,
sering bergaul dengan masyarakat –terutama masyarakat bawah– sehingga dengan sendirinya dapat merasakan penderitaan mereka. Dan berusaha dengan sekuat tenaga turut meringankan beban yang mereka alami.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar