Kepiawaian Syaikh Yusuf al-Qaradhawi sebagai ulama yang penulis sudah tidak diragukan lagi.  Berbagai literatur fiqih berkualitas tinggi telah lahir dari tangannya, sebutlah misalnya – yang beredar di Indonesia – seperti Fiqh Zakat dan Fiqih Prioritas.   Akan tetapi, selain buku-buku fiqih yang disusun secara sistematis  itu, Syaikh al-Qaradhawi juga memiliki sejumlah karya fenomenal yang  ‘lain daripada yang lain’.
Buku Kenanganku Bersama Ikhwanul Muslimin  memang berbeda.  Karena buku ini merupakan semacam memoar atau jurnal  perjalanan, maka penuturannya begitu hidup, bahkan menggairahkan!  Kita  seolah-olah bisa merasakan betapa besarnya semangat dakwah Syaikh  al-Qaradhawi ketika beliau menceritakan perjalanan dakwahnya dari Thanta  ke Kfar Syaikh.  Saat itu, beliau hanyalah seorang mahasiswa sederhana  dengan uang yang sangat pas-pasan untuk pulang-pergi dalam perjalanan  tersebut.  Ikhwah dari Thanta mengira transportasi akan ditanggung  ikhwah Kfar Syaikh, sedangkan ikhwah Kfar Syaikh justru mengira ikhwah  Thanta telah membekalinya dengan dana yang cukup.  Namun beliau justru  terdampar di tengah jalan tanpa uang sama sekali dan perut yang  kelaparan karena baru berbuka shaum dengan minuman, bertekad  untuk menempuh jarak 11 kilometer dengan berjalan kaki karena tak ingin  merepotkan siapa pun.  Kemudian Allah menurunkan pertolongan, sehingga  perjalanan yang penuh berkah itu berakhir dengan penuh kebahagiaan.
Meskipun  buku ini sarat dengan kisah bahagia – dan Syaikh al-Qaradhawi memang  menyatakan sendiri kebahagiaannya mendapatkan kesempatan untuk hidup  sebagai bagian dari jamaah Ikhwanul Muslimin – namun daya tariknya  justru terletak pada perspektif beliau dalam menyikapi cobaan-cobaan  yang menimpa dakwah ini.  Mulai dari pertentangan antara Al-Ikhwan  dengan Partai Wafd, kepahlawanan Al-Ikhwan di Palestina yang dibalas  dengan penangkapan masal oleh pemerintah Mesir, pembangkangan Nizham  Khas terhadap Mursyid ‘Am, pembunuhan yang dilakukan oleh anggota  Al-Ikhwan terhadap saudaranya sendiri, hingga penyiksaan-penyiksaan yang  dilakukan oleh Gamal Abdul Nashir dan algojonya, Hamzah Basyuni.
Sebagian  dari kasus-kasus yang dijelaskan dalam buku ini barangkali masih asing  bagi kader dakwah di Indonesia.  Banyak yang bingung mengapa para asatidz  yang dulunya mendukung dakwah kini berbalik memusuhinya, padahal yang  terjadi pada Imam Hasan al-Banna malah lebih buruk daripada itu.  Beliau  sendiri yang mendirikan Nizham Khas sebagai organisasi rahasia yang  memiliki tujuan mulia demi kemuliaan Islam, namun justru Nizham Khas  itulah yang pertama kali bertindak serampangan dengan membunuh seorang  hakim.  Memang hakim itu dikenal telah menzalimi Al-Ikhwan dalam  kasus-kasus yang direkayasa oleh pemerintah, namun Hasan al-Banna  sedikitpun tak pernah berpikir untuk memusuhi para hakim, apalagi  memberikan instruksi untuk membunuhnya.  Akibat dari tindakan ekstrem  ini, tekanan terhadap Al-Ikhwan semakin kuat, hakim yang dibunuh diganti  dengan yang lebih kejam, Syaikh Sayyid Sabiq yang dikenal lembut justru  dituduh sebagai pembuat fatwa pembunuhan, dan Syaikh al-Qaradhawi  sendiri pada akhirnya ikut dikejar-kejar dan dijebloskan ke penjara.  
Pembangkangan  Nizham Khas semakin nampak jelas dalam pertentangannya dengan Mursyid  ‘Am kedua, yaitu Hasan al-Hudhaibi, bahkan mereka sampai menduduki  Markaz ‘Am Al-Ikhwan.  Di akhir bukunya, Syaikh al-Qaradhawi menjelaskan  ketidaksetujuannya terhadap keberadaan organisasi rahasia seperti  Nizham Khas, karena tabiatnya yang seperti ‘negara di dalam negara’ dan  bahaya timbulnya kesombongan diantara anggotanya yang menyebabkan mereka  tak mau lagi mendengarkan Mursyid ‘Am.  Meski demikian, Syaikh  al-Qaradhawi sama sekali tidak mempertanyakan keikhlasan mereka.
Syaikh  al-Qaradhawi juga menggarisbawahi sikap sebagian Ikhwan yang disebutnya  sebagai “tindakan kasar dalam menghukumi sesama Ikhwan yang berbeda  dengan mereka”.  Tindakan yang dimaksud adalah tuduhan pengkhianatan  kepada Syaikh Abdul Aziz Kamil dan Syaikh Muhammad al-Ghazali, hanya  karena mereka berbeda pendapat dengan Al-Ikhwan.  Keduanya adalah tokoh  yang sangat dihormati – bahkan dianggap sebagai guru – oleh Syaikh  al-Qaradhawi.  Syaikh Abdul Aziz Kamil adalah tokoh Al-Ikhwan yang  sangat terkemuka, bahkan sempat dicalonkan sebagai Mursyid ‘Am kedua.   Namun beliau memilih untuk bekerja sama dengan pemerintah dengan  menerima jabatan sebagai Menteri. 
Menurut Syaikh al-Qaradhawi, itulah  jalan yang telah dipilihnya, dan tak pernah ada indikasi bahwa beliau  telah mengkhianati Al-Ikhwan, apalagi Islam.  Demikian pula Syaikh  al-Ghazali, yang seringkali dianggap sebagai tokoh kontroversial.  Meski  ‘berbeda jalan’ dengan Al-Ikhwan, namun Syaikh al-Qaradhawi tak  menganggap perbedaan pendapat itu sebagai alasan untuk melupakan begitu  saja jasa-jasa Syaikh al-Ghazali dalam dakwah.  Sebaliknya, Syaikh  al-Qaradhawi justru mengajukan sebuah perspektif unik dalam memandang  masalah ini.  Menurutnya, apa yang terjadi antara Syaikh al-Ghazali  dengan jamaah Al-Ikhwan justru memiliki hikmah mendalam.  Ketika Gamal  Abdul Nashir menangkap dan menyiksa kader-kader dakwah di  penjara-penjaranya, Syaikh al-Ghazali justru selamat dari tuduhan,  sehingga beliau bebas mendakwahkan Islam di luar penjara.  Dengan  demikian, selalu ada saja yang melaksanakan tugas-tugas dakwah.
Mereka  yang sering membaca buku yang menceritakan keutamaan Imam Hasan  al-Banna barangkali perlu ‘mengimbanginya’ dengan membaca buku ini,  sehingga dapat melihat sendiri bahwa Imam al-Banna sekalipun mengalami  kesulitan besar dalam mengelola jamaahnya yang telah tumbuh besar.  Buku  ini juga baik untuk dibaca oleh mereka yang membayangkan bahwa jalan  dakwah itu lurus, dan tak berliku-liku.  Buku ini menyadarkan kita akan  berbagai bahaya yang mengancam dakwah, mulai dari pembangkangan terhadap  syura’, idealisme yang tidak mempertimbangkan kondisi, dan tingginya wawasan yang tak menjamin kepiawaian dalam menjaga ukhuwwah dalam situasi terjadinya perbedaan pendapat.
Semoga  Allah merahmati Syaikh Yusuf al-Qaradhawi atas karyanya ini.   Sebagaimana petuah dari Syaikh Musthafa Masyhur, jalan dakwah akan  senantiasa berliku, berduri, bahkan penuh dengan jebakan.  Inilah tabiat  dakwah yang tak mungkin diubah.  Akan tetapi, kita bisa mengubah  perspektif kita dalam menyikapi fenomena tersebut.  Perspektif yang  ditawarkan oleh Syaikh al-Qaradhawi dalam buku ini terlalu menarik untuk  dilewatkan begitu saja. 
Catatan : Buku ini diterbitkan di Indonesia oleh AULIA Publisher dalam dua jilid dan Tarbawi Press dalam satu jilid.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar