Maukah kali ini anda saya ajak  berbagi? Berbagi pengalaman yang meski terkesan personal bukan tidak  mungkin nilai dan nuansa emosional yang terkandung di dalamnya sangatlah  universal. Sekali-kali saya bukan ingin memanfaatkan ruang publik ini  untuk kepentingan pribadi, tetapi saya meyakini bahwa tak ada pengalaman  yang dialami oleh satu pribadi kecuali hal tersebut berguna sebagai  cermin bagi orang lain. 
Itulah mengapa ada penulis, ada  sejarawan, ada antropolog, arekeolog, bahkan perawi hadist (untuk urusan  terakhir ini memang bukan sekedar sejarah karena penelusuran  keautentikannya yang hingga menelusuri kualitas alur penuturnya).               
Pengalaman apakah itu? Pengalaman berinteraksi  dengan maut. Hah?! Benar. Sebuah pengalaman yang menyadarkan betapa maut  sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan kita dan tidak pernah bisa  kita hitung kapan akan tiba, pun siapa yang akan dipilihnya. Anehnya,  begitu banyak manusia yang seolah tidak pernah sadar bahwa maut adalah  bagian keniscayaan hidupnya. Sesuatu yang pasti akan terjadi, namun  kapan, di mana dan bagaimananya tidak bisa diketahui dengan pasti.                
Pernahkah Sandriani (korban pembunuhan di Batam)  berpikir bahwa suatu ketika ia harus menemui maut dengan cara yang  begitu menggemparkan? Tentu tidak. Bahkan, hingga detik terakhir pun ia  tidak mengetahui. Andai ia bisa tahu, minimal setengah hari sebelum maut  menjemput, mungkin ia bisa meninggalkan pesan tentang apa yang akan  terjadi dan siapa yang terlibat di dalamnya sehingga Mabes Polri tidak  perlu pusing datang ke Batam. Tapi, itulah maut. Misteri yang sering  dilupakan manusia. Bagian yang peling dekat dan pasti darinya tetapi  sering dianggap tidak ada, minimal jauh jauh di sana.              
Ceritanya,  Allah kembali menitipkan calon manusia di rahim saya. Calon anak  ketiga. Kami semua (saya, suami, anak-anak) sangat senang. Di kehamilan  ketiga ini upaya penjagaan kami optimalkan karena memang sudah empat  tahun lebih sejak anak kedua kami menahan diri untuk belum menambah lagi  dengan beberapa pertimbangan. Penjagaan yang bagi kami cukup menggerus  energi, biaya dan emosi. 
Bulan pertama kehamilan berjalan  lancar, paling hanya mabuk sebagaiaman layaknya orang hamil muda. Mabuk  yang bisa terobati kala banyak melakukan aktifitas di luar rumah meski  harus menyisakan rasa lelah sesudahnya. Toh, dua kehamilan sebelumnya  juga begitu. Mabuk dan pelan tapi pasti tubuh saya mengurus meski berat  badan bertambah. Jadi, enjoy saja.              
Malam Rabu,  tanggal 13 Agustus 2007 adalah malam yang membuat saya tersadar betapa  tidak berdayanya manusia tanpa kehendak-Nya. Ruang periksa dr. Adriyanti  SPOG menjadi ruang pegadilan yang menunjukkan bukti kekuasaan Tuhan.   “Nurul, kita ketemu sebulan lalu, ya?” tanyanya lembut. Saya mengiyakan.   Lalu, keputusan itu dipaparkan. Allah menghentikan proses pertumbuhan  janin yang saya kandung. Di usianya yang belum sempat bernyawa, Tuhan  telah mengambil titipan itu dari saya. 
Sedih? Tentu saja. Namun,  kesadaran bahwa apa yang kita miliki sekarang bukanlah milik kita yang  sebenarnya membuat saya berkata tegar setelah sempat terdiam.  “Nggak  papa, dok. Belum rejeki. He always give me the best. There’s something  behind this, I hope I’ll find it.” Ujar saya. Tegar di luar,  mudah-mudahan disabarkan di dalam.  Diagnosis kuatnya memang karena  sinkronisasi gen tidak jalan. Artinya, faktor internal calon bayi itu  yang membuat pertumbuhan terhenti. Bukan karena asupan makanan,  kelelahan atau faktor eksternal lain. Meski begitu, saya tetap dibekali  surat chek ke laborat. Yang jelas, calon anak saya harus dikeluarkan  alias dikuret.               
Kesabaran adanya di awal, begitu  Rasul bersabda. Sabar… sabar, meski air mata akhirnya keluar juga. Saat  malam memeluk makhluk dalam mimpi dan sepi menghantar sujud ke hadapan  Ilahi, tangis itu teradukan juga ke hadapan Sang Pemberi. Terlebih saat  membaca ayat-ayat-Nya, bagian awal surat An Nisa pula yang terkembang di  tangan. Kullu nafsin dza iqotul maut. Setiap yang berjiwa akan mati.  Setiap yang diciptakan-Nya akan menemui titik akhir. Nothing last  forever. Selanjutnya, isbiru wasabiru warabithu. Bersabarlah dan  bersabar serta tetaplah dalam kesabaran. Ah, selain kesabaran, apakah  saya punya pilihan lain yang lebih baik? Meski ayat itu sudah begitu  lekat di ingatan, rasanya malam itulah ayat-ayat tersebut khusus Allah  pilihkan untuk saya.              
Maut. Semua yang berjiwa akan  mati. Semua makhluk akan berakhir. Jangankan yang sudah berusia kepala  enam, bahkan yang belum lagi dikeluarkan dari perut ibunya pun dekat  dengan kematian. Siapa yang akan menyusul kemudian diantara kami? Aku?  Suamiku? Anak-anakku?. Kapan? Satu dasa warsa? Setahun? Sebulan?  Sehari?. Di mana? Di Batam? Di kampung? Di tempat yang tidak dikenal?  Tidak ada yang mengetahui, termasuk si calon mayat sendiri. 
Maut  sangat dekat, bahkan paling dekat dengan kehidupan. Namun, anehnya  manusia menganggap dia seolah tak ada. Buktinya, manusia mudah melakukan  kejahatan, menikmati dunia seolah akan terus bersamanya, menuruti hawa  nafsu seakan itulah inti kehidupannya. Padahal, seandainya manusia mau  sering-sering bertanya sebagaimana anak sulung saya bertanya (ia  menangis ketika saya beritahu bahwa adiknya diambil kembali oleh Yang  Maha Pencipta), mungkin manusia mau mengerem nafsunya dan mengendalikan  kelakuannya. Pertanyaan anak saya adalah, “Mengapa adik belum jadi anak,  belum jadi kakek-kakek kok sudah mati?”  “Karena Allah maunya begitu.  Semua yang Allah mau, pasti terjadi.”   
Hakekat kehidupan adalah kematian dan kebenaran dari sebuah kehidupan hanya ada setelah kematian. Anda setuju dengan filosofi saya tersebut?
....Innalillahi wa inna ilaihi roji'un....
Telah meninggal dunia Nurul F Huda, seorang penulis sekaligus pendiri FLP Jogja, hari ini Rabu 18 Mei 2011 pukul 03.15 WIB di RS Sardjito Yogyakarta.
*) tulisan ini admin ambil dari blog pribadi NURUL F HUDA
http://nurulfhuda.multiply.com/journal/item/16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar