Oleh : Cahyadi Takariawan
”Apa bekal antum menghadapi pertempuran politik ini ?” pertanyaan itu  saya lontarkan kepada seorang aktivis saat dirinya akan maju sebagai  salah satu bakal calon kepala daerah dalam perhelatan Pemilihan Kepala  Daerah (Pilkada).
”Semangat ustadz. Itu bekal yang paling utama. Semua kader  bersemangat mendukung, maka sayapun semakin bersemangat”, jawab sang  aktivis dengan mantap.
Energik, penuh semangat, itulah ciri semua aktivis dakwah. Loyo,  lesu, dan lemah semangat adalah penyakit para aktivis yang selalu mereka  hindari dan mereka lawan. Maka dimanapun kita berada, yang kita jumpai  adalah semangat yang senantiasa menyala dan menggelora. Para aktivis  selalu siap melaksanakan amanah dengan segenap jiwa yang tak pernah  lesu. Segala tugas dikerjakan dengan hati tulus. Inilah yang menyebabkan  para aktivis mampu menjaga semangat.
Alhamdulillah, segala puji milik Allah. Modalitas dalam dakwah yang  paling utama adalah kader yang bersemangat tinggi. Tanpa kehadiran kader  yang penuh semangat, program akan menghadapi banyak kendala.  Sebagaimana diketahui, kegiatan dakwah itu sepi dari publisitas dan sepi  dari kecukupan materi. Semboyan ”sunduquna juyubuna”, dana dakwah  berasal dari kantong saku kami sendiri, selalu menjadi perilaku para  aktivis setiap hari. Untuk menjalankan sebuah program dakwah, mereka  tidak menunggu kucuran dana, tidak bergantung kepada tersedianya dana.  Itulah sebabnya kegiatan dakwah selalu marak dimana-mana, karena  dibiayai oleh pelakunya sendiri.
Semangat  ini wajib dijaga dan dipelihara pada jiwa para aktivis dakwah. Jangan  sampai melemah dan memudar, karena dengan semangat yang menyala inilah  berbagai program bisa terlaksana. Namun pertanyaannya adalah, apakah  pertempuran bisa dimenangkan hanya berbekal semangat ? Saya menjawab  dengan yakin dan pasti : TIDAK !Pertempuran lapangan antara kebaikan dengan keburukan, tidak cukup  dimenangkan oleh semangat. Memang salah satu modal yang penting adalah  semangat yang menyala, namun tentu saja tidak cukup berbekal semangat  semata. Pertempuran di segala medan memerlukan roadmap atau peta proses yang jelas, dimana ada sejumlah indikator keberhasilan dalam setiap tahapannya. Konsekuensi dari roadmap  pertempuran harus ditempuh, karena ada konsekuensi ”iman” yang bercorak  ideologis dan ada pula konsekuensi praksis. Kita tidak bisa memilih  salah satu saja dari konsekuensi logis yang muncul untuk memenangkan  pertempuran.
Jika dua kekuatan berhadapan dan siap saling menyerang, satu kekuatan  kebaikan dan satu kekuatan kejahatan, maka pemenangnya bukanlah siapa  yang paling semangat di antara mereka. Dalam perspektif keimanan,  kebaikan diyakini pasti mengalahkan kejahatan. Sebagai manusia beriman,  kewajiban kita adalah berjuang menegakkan nilai-nilai kebaikan dalam  berbagai bidang kehidupan. Kewajiban kita adalah berjuang menghilangkan  kejahatan dari muka bumi. Ini konsekuensi iman yang telah dimiliki para  aktivis, dan oleh karena itu memunculkan gelegak semangat yang sangat  besar dalam dirinya. Nilai-nilai kebaikan harus dimenangkan dan  dimunculkan dalam berbagai bidang kehidupan.
Namun  untuk menghadapi pertempuran terbuka melawan kekuatan kejahatan, ada  perspektif praksis yang harus dimasukkan ke dalam hitungan. Coba kita  resapi sabda Nabi saw “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran  hendaklah ia mengubah dengan tangannya, apabila tidak mampu maka  hendaklah mengubah dengan lisannya dan apabila tidak mampu hendaklah  mengubah dengan hatinya, yang sedemikian itu selemah-lemahnya iman”  (Riwayat Muslim). Kalimat fa in lam yastathi’ –jika kalian tidak mampu—menandakan adanya keharusan melakukan perhitungan yang cermat dan teliti.Sering kali kita tidak suka berbicara konsekuensi praksis, karena  seakan berada dalam suasana yang lain, atau bahkan berada dalam dunia  yang lain sama sekali dengan keyakinan iman yang telah tertanam selama  ini. Bagaimana untuk bertempur menghadapi kejahatan, masih harus  berpikir dan berhitung tentang realitas kemampuan yang ada ? Seakan-akan  itu adalah perbuatan para pengecut dan pecundang, yang enggan melakukan  perjuangan, yang enggan berkorban demi tegaknya kebenaran. Karena untuk  berjuang masih harus berhitung dan memetakan konsekuensi praksis yang  sering kali tidak kita miliki.
Apa tidak cukup berbekal semangat untuk bisa menang ? Saya ajak anda  mengingat kembali ”nasihat lama” dari Syaikh Musthafa Masyhur. Nasihat  ini muncul sebagai mutiara hikmah dan kristalisasi dari pengalaman  puluhan tahun terlibat dalam medan dakwah yang sangat keras.
“Bekerja dan berkhidmat untuk Islam memerlukan pandangan yang luas  dan kepahaman yang mendalam. Persoalannya bukan sekedar memenuhi gejolak  semangat dan emosi untuk diledakkan dengan sewenang-wenang tanpa  memperhatikan natijah (hasil) dan akibatnya. Sebenarnya  kesengsaraan dan pengalaman-pengalaman yang telah dilalui membuktikan  bahwa semangat yang meluap-luap bukan gambaran iman yang kuat.  Sebaliknya semangat yang demikian itu seringkali menandakan kelemahan  diri dan ketidakmampuan bersabar menempuh derita perjalanan.”
“Orang yang terlalu semangat dan emosional ini menyangka bahwa hanya  dengan semangat dan emosinya mereka akan mampu memberikan kepada Islam  sesuatu yang tak pernah dapat diberikan oleh orang-orang sebelumnya.  Malahan kadang keadaanya menjadi lebih keterlaluan. Apalagi mereka  dengan sewenang-wenang menuduh dan menyebut orang-orang yang tidak  menyamai semangat dan emosinya sebagai orang-orang yang lemah, penakut,  dan pengecut.”
Kebaikan  jangan sampai dikalahkan oleh kejahatan, yang disebabkan karena terlalu  semangatnya para aktivis dalam memasuki wilayah pertempuran, tanpa  berhitung dan menyiapkan konsekuensi praksis untuk bisa menang. Pelaku  kejahatan menyiapkan sangat banyak amunisi, memiliki banyak fasilitas,  sangat banyak jaringan, sangat banyak perangkat teknis untuk menang.  Sementara pelaku kebaikan hadir di kancah pertempuran tanpa  mempersiapkan perbekalan yang memadai. Tentu saja kebaikan bisa mudah  dikalahkan oleh kejahatan. Ini kondisi umum.
Tentu saja ada kondisi khusus, dimana situasinya berbeda dengan  kondisi yang berlaku secara umum. Misalnya masyarakat Palestina yang  harus menghadapi agresor Israel yang memiliki kekuatan militer sangat  lengkap. Mereka harus menghadapi dengan semangat dan segala keterbatasan  yang ada, karena tidak mungkin agresor Israel dibiarkan saja membantai  dan menindas rakyat Palestina. Apapun kondisi yang ada, harus bangkit  melawan agresor. Tidak mungkin menunggu lengkapnya kekuatan sarana dari  rakyat Palestina, baru berani menghadapi agresor. Harus dihadapi dengan  kondisi apapun. Ini kondisi khusus, dimana yang dimiliki dan diandalkan  hanyalah konsekuensi keimanan, karena tidak memiliki kemampuan untuk  menghadirkan konsekuensi praksis berupa sarana dan prasarana yang  memadai.
Kita sedang berbicara dalam kondisi umum, bukan kondisi khusus.  Sepuluh orang pejuang kebaikan tanpa memiliki sarana, akan mudah  dikalahkan oleh seribu pelaku kejahatan yang memiliki sarana lengkap.  Sepuluh orang pejuang kebaikan ini rela menjadi martir, siap syahid  untuk menyuburkan gelora perjuangan. Namun persoalannya bukan sekedar  kesiapan berkorban dan kesiapan untuk hancur lebur bersama keyakinan dan  kebaikannya. Jika sepuluh pejuang ini mati, maka berarti barisan  kebaikan telah kehilangan sepuluh tenaga utama. Jadi, harus dihitung  dengan cermat, apakah kehilangan sepuluh tenaga utama ini sudah memadai  dibanding dengan hasil pertempurannya ? Seperti matinya Ghulam sang  Pembawa Kebenaran, telah berdampak menyadarkan masyarakat untuk  mengikuti Kebenaran.
- Resiko kesalahan membuat perhitungan dan penilaian tidak bisa diperbaiki atau ditebus. Hal ini akan menyebabkan munculnya orang-orang yang semata-mata bermodalkan semangat berkorban dengan seluruh jiwa raganya dan siap untuk syahid. Tetapi masalahnya terletak pada persoalan apa yang akan dicapai dengan pengorbanan tersebut ? Apakah kehilangan itu lebih menguntungkan dakwah dan organisasi dari pada keberadaannya ?
 - Jiwa anggota bukan hak miliknya dalam arti kata yang sebenarnya. Dengan demikian tak wajar bagi seorang anggota melaksanakan suatu tindakan sesuka hatinya tanpa dibenarkan oleh pemilikinya, yaitu Allah SWT. Organisasi bertanggung jawab dan berkewajiban mengendalikan dakwah dengan sebaik-baiknya sesuai aturan Islam, atau sekurang-kurangnya yang dibenarkannya.
 - Harus selalu mendalami perjalanan dakwah masa permulaan Islam dengan memanfaatkan pengalaman gerakan dakwah yang telah ada. Gerakan Islam hendaknya tidak menyia-nyiakan pengalaman itu, karena seorang mukmin tidak selayaknya terperosok dua kali dalam lubang yang sama.
 - Hendaknya dipahami benar-benar bahwa tindakan yang menentang bahaya secara terbuka memerlukan kekuatan yang seimbang atau jika kurang, harus sesuai dengan kadar kekurangannnya. Sebab kekuatan yang tidak seimbang tidak mungkin mampu menentangnya secara terbuka. Seribu kafir yang lengkap senjatanya, tidak mungkin menurut logika dapat dihadapi oleh sepuluh orang muslim tanpa senjata. Persoalan kalah dan menang berjalan sesuai sunatullah.
 
Jadi,  semangat sangatlah penting. Namun menghadapi pertempuran terbuka, tidak  cukup bermodalkan semangat semata. Bahkan semangat yang sudah menyala,  bisa memudar jika tidak dibarengi dengan kemampuan untuk menyiapkan  sejumlah sarana dan prasarana dalam upaya memenangkan pertempuran.  Organisasi dakwah wajib menyiapkan berbagai konsekuensi praksis yang  memadai, jika terlibat dalam pertempuran terbuka. Apapun jenis  pertempuran itu, termasuk pertempuran politik.Jika konsekuensi praksis ini tidak disiapkan, bisa jadi hasilnya  justru kontraproduktif. Soliditas yang diharapkan muncul justru kendur,  semangat yang sudah menyala justru meredup. Betapapun semangat yang  melimpah dari para kader, tetap saja mereka manusia biasa. Mereka  memiliki anak dan isteri yang harus tercukupi kebutuhan hidupnya. Jika  para suami habis waktunya untuk berjuang memenangkan pertempuran, maka  harus ada kesanggupan organisasi untuk menjamin tercukupinya kebutuhan  hidup keluarga yang ditinggalkan. Jika para isteri habis waktunya untuk  berjuang, harus ada kesanggupan organisasi untuk menjamin  terperhatikannya kondisi anak-anak yang ditinggalkan di rumah, serta  jaminan kerelaan suami yang ditinggalkan.

Kenapa saya katakan praksis ? Karena bentuknya memang sangat praktis  bahkan pragmatis. Para aktivis yang bekerja siang dan malam tanpa  imbalan materi ini, semangatnya luar biasa. Namun jika mereka dibiarkan  bekerja tanpa kepastian bahwa anak dan isteri bisa makan, semangat  seperti apa yang bisa mereka pertahankan ? Kondisi kita selalu saling  terkait satu dengan yang lainnya. Anak-anak harus sekolah dan oleh  karena itu perlu biaya sekolah. Untuk menjalankan kegiatan dakwah,  minimalnya perlu biaya transportasi dan akomodasi, sekedar makan apa  adanya selama menjalankan program. Namun tetap perlu uang bukan ? Inilah  betapa praksisnya bab yang satu ini.
Jika anak para aktivis mendapat peringatan di sekolah karena  terlambat membayar biaya pendidikan, apa yang diperlukan ? Pasti perlu  uang untuk membayar tunggakan biaya pendidikan mereka. Sementara dalam  menghadapi pertempuran terbuka, semua aktivis telah rela mengorbankan  waktu, tenaga, pikiran bahkan harta yang sesungguhnya sangat terbatas  kondisinya. Dana yang terbatas itu harus terbagi-bagi dan ternyata tidak  mencukupi untuk memenuhi semua keperluan hidupnya.
Sudahlah, cukup itu saja gambarannya. Khawatir anda menuduh saya  berpikiran materialistis dan pragmatis. Khawatir anda menuduh saya  pengecut yang tidak mau berjuang. Khawatir dipahami secara salah,  tulisan ini digunakan untuk melemahkan semangat dakwah.  Saya hanya  ingin mengatakan, bahwa untuk menang dalam pertempuran terbuka, tidak  cukup bermodalkan semangat semata. Harus ada peta proses yang jelas dan  kemampuan memenuhi konsekuensi logis dalam perjuangan. Termasuk dalam  medan pertempuran politik, seperti Pilkada. Dalam medan Pilkada ini,  gambarannya bukan “kebaikan melawan kejahatan”, namun sering kali lebih  kepada perbedaan kompetensi antara satu calon dengan calon lainnya.  Bukan hitam putih.
Kejelasan peta proses dan kemampuan memenuhi konsekuensi logis sangat  diperlukan untuk menang dalam medan pertempuran Pilkada. Ini semua  justru dalam rangka menjaga soliditas dan menyuburkan semangat yang  telah demikian menyala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar