Senin, 27 Juni 2011

Ghazwul Fikriy dan Dakwah Kita

assalaamu’alaikum wr. wb.

Ghazwul fikriy (perang pemikiran) adalah suatu bab khusus dalam tarbiyah kita yang secara seksama kita pelajari bersama. Hampir dapat dipastikan tak ada kader dakwah yang tak mengerti maknanya. Akan tetapi, untuk melibatkan diri di dalamnya, itu lain soal.


Apa yang muncul dalam benak ketika nama ghazwul fikriy disebut? Tidak jarang muncul kesan bahwa umat Islam tengah dikepung dari segala penjuru, diserang dari segala arah. Penyerangan dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari kaum komunis, kapitalis, atheis, sekularis, zionis, misionaris dan seterusnya. Tidak sedikit yang lupa bahwa ghazwul fikriy adalah sebuah peperangan, bukan penyerangan satu arah.


Ust. Hilmi Aminuddin dalam bukunya, Menghilangkan Trauma Persepsi, telah memperingatkan para da’i agar tidak memelihara trauma persepsi dalam benaknya masing-masing. Merasa pasti kalah, merasa selalu dikepung, merasa selalu dipojokkan, merasa selalu diserang dan tak bisa menyerang balik; itulah trauma persepsi!


Barangkali karena sifatnya yang tidak kasat mata, maka ghazwul fikriy terlihat begitu menakutkan. Kita bagaikan melangkah ke dalam ruangan gelap tanpa petunjuk arah apa pun. Di medan perang, musuh yang terlihat bisa ditebas saja, dan manusia dalam keadaan terdesak biasanya tidak berpikir dua kali untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi, serangan pemikiran biasanya tidak terlihat, bahkan seringkali tidak terasa, karena ia bukannya menyakiti tubuh kita, melainkan justru merusak cara berpikir kita, termasuk juga dengan memanjakan hawa nafsu kita. Jika hawa nafsu sudah memegang kendali, maka kecerdasan akal pun bisa kehilangan relevansinya. Orang yang tertusuk lembing atau tertembus peluru bisa merasakan sakit, namun kerusakan pada ‘aqidah bisa jadi tak terasa, bahkan justru membuat kita terbuai.


Semestinya, ghazwul fikriy tidak kita pandang sebagai benda asing, karena ia sama sekali bukan barang baru. Kita dapat menjumpai berbagai macam bentuknya dalam Al-Qur’an, juga dalam Sirah Nabawiyah. Jika kita meneliti kedua sumber ini, kita akan terkejut melihat betapa banyaknya contoh yang telah diberikan oleh para Nabi dan Rasul dalam menghadapi ghazwul fikriy ini.

Sumpah Iblis

Iblis adalah contoh terbaik dari sebuah kerusakan cara berpikir. Makhluk yang satu ini tidak atheis, tidak agnostik, tidak meragukan kekuasaan Allah SWT, tidak bodoh dan tidak kurang pengalaman. Ketika Allah SWT secara langsung memerintahkannya untuk bersujud pada Nabi Adam as., seharusnya hal ini menjadi urusan yang sangat mudah baginya, karena tak ada opsi lain kecuali patuh. Akan tetapi, Iblis dengan tegas dan tidak ambigu menolak.


Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis, “Aku lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A’raaf [7]: 12)


Seperti inilah cara berpikir Iblis. Tidak diragukan lagi, penolakannya untuk mematuhi perintah Allah SWT adalah karena kesombongan, bukan yang lain. Kesombongan telah memenuhi dadanya sehingga akalnya tidak lagi bekerja sebagaimana mestinya. Iblis tahu persis bahwa perintah Allah SWT tidak semestinya ia abaikan, namun ia sudah kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya.


Kebencian Iblis tidak berhenti sampai di situ. Setelah Nabi Adam as. dan Hawa ditempatkan di surga, kedengkian telah menuntunnya untuk menjerumuskan keduanya dalam sebuah perbuatan yang dilarang Allah SWT.


Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata, “Tuhan kamu tidak melarangmu mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga).” (QS Al-A’raaf [7]: 20)


Sekiranya Iblis mengajak Nabi Adam as. dan istrinya untuk mendurhakai Allah, tentu ajakannya takkan bersambut. Akan tetapi, Iblis mempermainkan fitrah manusia yang memang menginginkan hidup abadi di surga, apalagi bagi yang sudah pernah hidup di dalamnya. Dengan cara inilah keduanya digelincirkan oleh Iblis, hingga akhirnya mereka mendapat teguran langsung dari Allah SWT. Keduanya pun bertaubat, dan Allah SWT menerima taubat mereka.


Bagaimana dengan Iblis? Bukannya bertaubat, ia malah meminta ijin Allah SWT untuk terus menggoda manusia. Dengarlah ‘Sumpah Palapa’ Iblis di bawah ini:


Iblis berkata, “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” (QS Al-Hijr [15]: 39-40)


Jika masih ada yang mempertanyakan agenda besar Iblis di muka bumi, maka camkanlah kata-katanya sekali lagi: “..pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi...” Jelaslah kiranya bahwa apa yang dilancarkan oleh Iblis itu sendiri pada hakikatnya adalah ghazwul fikriy; sebuah peperangan yang ditujukan bukan untuk menghancurkan jasad manusia, namun merusak alam pikirannya sehingga tidak lagi sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Jika akal sudah rusak, maka kebaikan bisa dipandang buruk, sedangkan maksiat malah dianggap sebagai ibadah.

Bersama Nabi Ibrahim as.

Berkebalikan dengan Iblis yang logikanya sudah menyimpang karena disetir oleh hawa nafsunya, Nabi Ibrahim as. justru dipuji sebagai pribadi yang lurus (hanif). Ia berdakwah kepada kaumnya dengan menggunakan argumen-argumen yang bernas, mematahkan semua retorika sesat yang dilemparkan kepadanya.


Tanpa sepengetahuan orang, Nabi Ibrahim as. menghancurkan berhala-berhala kaumnya, menyisakan hanya satu saja di antaranya. Karena sejak awal Nabi Ibrahim as. telah begitu keras mengkritisi kaumnya yang menyembah berhala, maka tak pelak lagi tuduhan pun langsung tertuju padanya.


Mereka bertanya, “Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab, “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya. Maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (QS Al-Anbiyaa’ [21]: 62-63)


Habislah sudah. Tak ada lagi argumen yang bisa mereka kemukakan. Jawaban Nabi Ibrahim as. telah membuat mereka serba salah. Pertama, mereka tak mungkin bisa bertanya kepada berhala terbesar itu, karena berhala memang tak dapat berbicara. Kedua, jika ia tak mungkin berbicara, maka ia pun tak mungkin menghancurkan berhala-berhala lainnya. Dengan demikian, ada orang lain yang telah melakukannya. Implikasinya, berhala itu pun ternyata tak mampu mencegah orang yang hendak menghancurkannya. Hilanglah alasan untuk memuja-muja berhala itu lagi. Betapa banyak yang bisa disampaikan oleh Nabi Ibrahim as. hanya dengan beberapa kalimat dan perbuatan saja.


Di lain waktu, Nabi Ibrahim as. pun berdebat dengan seorang raja yang jumawa. Ia menganggap dirinya telah sebanding dengan Allah SWT. Nabi Ibrahim as. menjelaskan padanya bahwa Allah SWT adalah Dzat yang mampu menghidupkan dan mematikan manusia. Sang Raja pun berkilah dengan mengatakan bahwa dirinya mampu menghidupkan (yaitu membiarkan hidup) dan mematikan (yaitu memerintahkan pembunuhan). Nabi Ibrahim as. kemudian membungkamnya dengan mengatakan bahwa Allah SWT telah menerbitkan matahari dari timur, maka jika Sang Raja benar-benar sebanding dengan-Nya, ia seharusnya bisa menerbitkannya dari barat. Kisah ini dapat kita temukan di bagian akhir Surah Al-Baqarah.
  
Posisi Para Da’i

Kita telah mengenal ghazwul fikriy, memahami bahaya dan kompleksitasnya. Akan tetapi, kita masih harus berperang melawan trauma persepsi dalam diri kita sendiri. Ghazwul fikriy adalah sebuah peperangan, di mana kita bukan hanya diserang dari segala arah, tapi juga bisa balas menyerang ke segala arah.


Ghazwul fikriy bukan barang baru, melainkan perkara lama yang sudah dikobarkan sejak dahulu kala oleh Iblis kepada ayah-bunda kita, Nabi Adam as. dan Hawa, beserta seluruh keturunannya. Tidak ada seorang pun yang tidak terlibat dalam perang pemikiran ini, karena Iblis memang menyesatkan manusia melalui pikirannya. Seorang da’i tidak bisa lari dari kewajibannya untuk aktif terlibat di dalamnya.


Untuk melibatkan diri dalam ghazwul fikriy, kita tidak perlu merasa takut akan kekurangan amunisi atau referensi. Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah senjata yang lebih dari cukup. Kita bisa belajar banyak dari para Nabi dan Rasul, misalnya Nabi Ibrahim as., yang mampu membendung semua retorika sesat orang-orang kafir dengan logika yang jernih dan kepala dingin.


Artikel ini telah dimuat dalam rubrik Ghazwul Fikriy dalam majalah Al-Intima'.


wassalaamu’alaikum wr. wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar