Saudaraku,
Salah satu rahasia mahalnya anugerah Allah SWT kepada kita  berada di jalan orang-orang shalih adalah, karena kita mendapat  pencerahan dan penyegaran luar biasa dari mereka. Bisa karena ruh  keshalihannya yang otomatis terpancar dari dirinya, atau bahkan dari  kata-katanya. Atau bahkan suasana hati yang menjadi lebih tunduk, takut  kepada Allah, urung melakukan kemaksiatan, karena keberadaan mereka.
Seperti  dahulu, para sahabat Rasulullah SAW kerap meminta nasihat dan wasiat  pada Rasulullah SAW, dalam banyak kesempatan. Dan Rasulullah SAW  menyampaikan nasihatnya dengan sangat bijak dan begitu mengesankan. Hingga  suatu ketika seorang sahabat bernama Sa'id bin Yazid Al-Azdi r.a.  memnita pada Rasulullah SAW, "Nasihatilah aku..." ujarnya kepada  Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW menjawab, "Aku wasiatkan engkau agar  malu kepada Allah SWT sebagaimana engkau malu dari orang yang shalih."  (HR. Ahmad)
Saudaraku,
Memberikan nasihat kepada seorang  mukmin yang meminta nasihat kepada saudaranya, termasuk sunnah  Rasulullah SAW untuk dipenuhi. Hadits itu memberi permisalan yang  mendekatkan logika penanya, terhadap substansi nasihat yang disampaikan  Rasulullah SAW. Tentang bagaimana cara kita bisa menghalangi diri dari  dosa. Tentang bagaimana kita bisa memaknai rasa malu dari dosa dengan  rasa malu kita terhadap sesuatu yang kita segani. Tentang bagaimana  pikiran dan perilaku kita seharusnya bisa terpengaruh oleh kondisi orang  yang melihat kita, terlebih oleh Allah SWT yang Maha melihat dan Maha  Mengetahui.
Malu kepada Allah SWT, jelas sikap mulia. Sikap  malu kepada Allah SWT, juga jelas tidak sama dengan sikap malu terhadap  manusia, berapapun tingkat dan derajat manusia itu. Tapi hadits tadi  hanya memunculkan gambaran yang bisa dipahami, tentang rasa malu berbuat  dosa. Dan bila seseorang telah memiliki sikap malu kepada Allah SWT,  sikap itulah yang mampu menjadi benteng penghalang seseorang dari  perilaku jahat, kapanpun, di manapun, dalam kondisi papaun. Penghalang  dosa seperti itu takkan datang bila sikap malu, hanya berasal dari  manusia atau dari keadaan tertentu.
Saudaraku,
Barangkali  banyak orang yang belum terlalu merasakan bila Allah SWT memantau dan  Maha Mengetahui keadaan dirinya. Sementara orang-orang shalih dahulu,  adalah orang-orang yang memiliki rasa malu yang tinggi kepada Allah SWT.  Tingkat rasa malu mereka kepada Allah SWT, sampai dalam bentuk tidak  melakukan sesuatu yang harusnya dilakukan. Dalam hadits Bukhari  disebutkan bahwa Ibnu Abbas r.a. ditanya tentang firman Allah SWT, surat  Hud ayat 5, yang artinya: "Ingatlah, sesungguhnya (orang munafik itu)  memalingkan dada mereka untuk menyembunyikan diri daripadanya  (Muhammad). Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain,  Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka  lahirkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati."
Ibnu  Abbas mengomentari ayat ini dengan mengatakan, "Dahulu orang-orang yang  memiliki rasa malu menyendiri dan menjauh dari keadaan berada langsung  di bawah langit, dan mereka tidak mau berhubungan badan dengan  istri-istri mereka. Lalu turunlah ayat itu atas mereka." Abu Bakar  Shidiq mengatakan, "Malulah kalian kepada Allah, sungguh aku pergi  membuang hajat lalu aku berlindung dengan bajuku karena malu dengan  Rabbku..." Bahkan Abu Musa mengatakan, bila ia mandi di sebuah rumah  yang gelap, ia tidak berani berdiri karena malu kepada Allah SWT."
Karena  rasa malu itu pula, Aisyah r.a. tidak masuk ke lokasi pemakaman  Rasulullah SAW kecuali dengan aurat tertutup rapat. "Dahulu aku sering  mendatangi makam Rasulullah SAW dan makam ayahku (Abu Bakar Shiddiq  r.a.) dan aku mungkin melepas sebagian kainku dengan mengatakan bahwa  itu adalah makam suamiku dan ayahku. Tapi ketika Umar r.a. juga  dimakamkan di lokasi pemakaman itu, aku tidak datang ke sana kecuali  dalam kondisi pakaianku tertutup rapat karena malu dengan Umar r.a."  (HR. Hakim)
Saudaraku,
Itulah sebabnya, Rasulullah SAW  mengatakan bahwa rasa malu selalu saja mendatangkan kebaikan. Sebab  andai hilang rasa malu, munculnya raa biasa dan tidak peduli dengan  penilaian orang, terlebih penilaian Allah SWT, maka itu merupakan salah  satu pemicu perilaku dosa. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,  "Termasuk hukuman terhadap pelaku kemaksiatan adalah, hilangnya rasa  malu yang sebenarnya malu itu adalah unsur hidupnya hati dan asal muasal  semua kebaikan. Hilangnya rasa malu, berarti hilangnya kebaikan  seluruhnya. Karena di dalam hadits shahih Rasulullah SAW bersabda, "Rasa  malu itu seluruhnya adalah baik."
Coba kita perhatikan lagi  lebih jauh perkataan Ibnul Qayyim lebih lanjut dalam kitab Ad-Daa'u wa  Ad-Dawaa; itu yang mengatakan, bahwa orang yang tidak memiliki rasa  malu, berarti ia tidak mempunyai anasir kemanusiannya, kecuali hanya  daging dan darah serta bentuk tubuh lahir mereka saja." Artinya, dalam  kondisi seperti itu, manusia sudah sama seperti hewan, perbedaannya  hanya masalah daging, darah dan bentuk lahirnya.
Saudaraku,
Rasa  malu bisa diwujudkan dengan menumbuhkan pengenalan kita yang lebih  dalam atas kekuasaan Allah SWT. Sebab semakin sadar seseorang atas  ke-Maha Kuasa-an Allah SAW, semakin kecillah ia menyadari nilai dirinya.  Rasa malu bisa juga didorong dengan bagaimana kita melihat orang lain  yang begitu menjaga dirinya dari dosa. Rasa malu, juga bisa tersentuh  oleh keberadaan kita bersama orang-orang baik, orang-orang yang terbiasa  memaksa diri untuk berlaku lurus, di manapun dan kapanpun.
Kita harus belajar dari mereka, saudaraku.
Mari sama-sama berdoa dan meminta perlindungan kepada Allah SWT dari menjadi golongan orang-orang yang tidak tahu malu. Dari mereka yang tak kenal malu kepada manusia, terlebih kepada Allah SWT Umar mengatakan, "Barangsiapa yang sedikit rasa malunya, berarti sedikit pula sikap wara'nya. Dan hatinya telah mati."
[Sumber : Rubrik Ruhaniyat Majalah Tarbawi edisi 224]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar