Hari itu, Ikhwanul Muslimin mengalami ujian yang berat. Sangat berat.  Penjara-penjara Mesir dipenuhi dengan aktifis Ikhwan. Mereka ditahan  dengan berbagai alasan; sebagian alasan yang dibuat-buat dan sebagian  lainnya dengan alasan yang tidak jelas.
Tak cukup sampai di situ,  sebagian aktifis Ikhwan juga dieksekusi. Hingga berubahlah penjara  menjadi tempat penjagalan. Kalau tidak dibunuh, mereka akan disiksa  dengan penyiksaan di luar batas kemanusiaan.
Dua diantara ribuan  aktifis Ikhwan yang dipenjara itu adalah seorang ikhwah dan naqibnya.  Ketika keduanya dipindahkan dari sel semula, ikhwah itu bertanya  disertai kekhawatiran. “Ya naqib, bagaimana nasib kita bila mereka  lemparkan kita ke sarang serigala lapar atau lubang busuk tanpa  kehidupan?”
“Mereka dapat membuang kita ke tempat manapun yang kita takuti,” naqib itu menjawab dengan tenang dan mantab, “namun ketahuilah… mereka takkan mampu membuang kita ke tempat yang tak ada Allah.”
Waktu berlalu. Mereka berdua selamat. Tetap hidup. Bahkan  ketika Sayyid Hamid Abun Nashr wafat dan dibutuhkan penggantinya, naqib  itulah yang menggantikannya. Ia tidak lain adalah Syaikh Mustafa  Masyhur. Mursyid am Ikhwanul Muslimin kelima.
Bertahan hidup  menghadapi penjara dan siksaan berat adalah sebuah prestasi, namun  prestasi lebih besar justru ditorehkan Mustafa Masyhur dan Ikhwanul  Muslimin di sana; di penjara yang pengap dan masa ujian berat itu.  Mustafa Masyhur dan Ikhwanul Muslimin bukan saja mampu mempertahankan  dakwah hingga tetap eksis dan kadernya terus bertambah, namun juga  menyulap penjara menjadi universitas tarbiyah. Dalam penjara mereka  berinteraksi semakin akrab dengan Al-Qur’an. Maka lahirlah sekian banyak  hafidz dari balik jeruji besi. Dalam penjara mereka bisa berjumpa  langsung dengan qiyadah-qiyadah tertinggi dakwah, mendengar langsung  taujih mereka, serta mengecap taurits tarbawi setiap hari. Maka begitu keluar dari selnya, jadilah mereka lebih matang serta kaya ilmu dan pengalaman.
Hasilnya,  pada saat para opsir penjara sudah tiada, para penjagal seperti Shafwat  Rubi dan Hamzah Basiuni sudah tak terdengar riwayatnya, bahkan ada yang  lumpuh, sakit-sakitan, linglung, dan gila, Ikhwanul Muslimin terus  bertumbuh; kadernya semakin banyak, medan dakwahnya semakin melebar, dan  pengaruhnya semakin besar.
Siapapun kita dan apapun jamaah  dakwah kita, tampaknya perlu belajar dari Mustafa Masyhur dan Ikhwanul  Muslimin. Lingkungan yang sangat demokratis di negeri kita memberi  jaminan kebebasan berdakwah seluas-luasnya. Situasi yang kondusif  menciptakan ruang dakwah yang sangat terbuka. Tidak ada penjara yang  mengancam di sini. Tidak ada penjagalan yang menanti.
Maka kalau kita tidak bersemangat menyebarkan misi suci Ilahi ini, jangan-jangan penjara itu buatan kita sendiri. Penjara pikiran yang membatasi cita dan gerak kita. Penjara nafsu yang mengurung azam. Penjara kemalasan yang memaku diri kita dalam tembok “zona nyaman.” Penjara ketidakmauan yang membekukan ketidakmampuan dalam dinginnya ketidakpedulian.
Maka  kalau kita tidak bersemangat menebar rahmat untuk semesta alam melalui  dakwah ini, jangan-jangan kita tengah menghadapi penjagal yang kita  ciptakan sendiri. Penjagal takut yang membunuh keberanian kita untuk  menyuarakan kebenaran. Penjagal ragu yang memotong leher keyakinan kita  akan kemenangan. Penjagal syahwat yang mengebiri himmah. Penjagal rendah diri yang menggugurkan izzah.
Kita  perlu belajar dari Mustafa Masyhur dan Ikhwanul Muslimin. Kita perlu  mewarisi semangat mereka, lebih-lebih di awal Rajab yang tinggal dua  bulan lagi dari Ramadhan ini. Bukankah Ramadhan semestinya adalah masa  panen bagi dakwah. Godaan lebih kecil, aktifitas keburukan berkurang,  nuansa ibadah meningkat signifikan. Bukankah seharusnya dakwah lebih  massif dirasakan umat hingga mereka pun bersama-sama bergabung dalam  jalan para nabi ini. Dan bukankah kita tak ingin orang lain memenuhi  padang rumputnya di surga dengan unta merah, sementara kita tak  mendapatkan apa-apa.
Rajab seharusnya menjadi start kita! Saatnya  memulai langkah kemenangan dakwah di bulan suci dengan memancangkan  semangat sejak dini. Juga menabung strategi. Dan bersamaan dengan itu,  hati berdoa, lisan berbicara, tangan bekerja, kaki melangkah… ke medan  dakwah, menemui umat yang menantikan cahaya, menggandeng tangan mereka.  Lalu di bawah sinar Islam yang benderang kita bersama-sama menghadirkan  rahmat bagi semesta alam.
*) sumber Muchlisinblogspot.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar